LEGENDAQQ LOUNGE Menenggak Perjalanan Tuak di Nusantara, dari Kerajaan hingga Kolonial Tidak banyak yang tahu bahwa Tuak adalah saksi bisu perjalanan Nusantara melintasi lorong waktu. Minuman tradisional hasil racikan masyarakat pesisir Nusantara ini sudah ada jauh sebelum pemerintah kolonial menancapkan kuku-kuku tajamnya di negeri ini. Tuak selama ini dikonotasikan negatif, karena terjadi banyak penyimpangan setelah ia dinikmati dari gelas ke gelas.
Padahal ketika dirunut dari asal mulanya, Tuak menyimpan kesakralan yang magis dan menggelitik nalar. Bahkan, raja Singasari, Kertanegara menemui ajalnya saat meminum tuak. Hal itu konon dipercaya menjadi gambaran praktik ritual Budha Tantrayana yang dianut oleh Kertanegara.
Budha Tantrayana yang dianut oleh Kertanegara memiliki tujuan akhir, yakni sunyapramandha yang dikenal sebagai tingkatan hidup sebagai Adibuddha yang abadi, yang mengecap kebahagiaan tertinggi (paramananda) yang hakikatnya adalah kasunyatan atau seni. Semua hal itu bisa dicapai apabila seseorang menenggak tuak atau meminum minuman keras. Peristiwa ini dicatat dengan baik dalam Kitab Pararaton.
Tuak Digunakan dalam Acara Ritual
Tuak dikenal oleh beragam kalangan dalam upacara penetapan sima, prosesi sumpah dan kutukan, dan hiburan. Tuak biasanya disajikan bersamaan dengan hidangan lain berupa nasi, lauk pauk daging kerbau, ayam, ikan asin dan telur. Informasi awal yang mengenai fungsi tuak sebagai sajian saat penetapan sima tersurat dalam prasasti Taji yang dikeluarkan pada tahun 823 Caka atau 901 Masehi.
Tak hanya dalam prasasti Taji, catatan soal Tuak juga dituangkan dalam prasasti lain dari masa Dyah Balitung hingga Mpu Sendok. Tuak turut ditenggak sembari menikmati pertunjukan topeng, lawak dan wayang.
Proses pembuatan Tuak juga tak kalah menarik. Melalui beberapa gurat prasasti pada masa pemerintahan kerajaan Mataram, minuman yang mengandung alkohol atau minuman keras (madya), dibuat dari pohon palem bernama sajeng.
Hal ini turut memperkaya jenis tuak pada masa kerajaan kuno Nusantara. Dalam kitab Negarakertagama, disebutkan dua jenis tuak, yakni twak nyu yang terbuat dari air kelapa, dan twak siwalan atau twak tal yang terbuat dari air siwalan atau tal. LEGENDAQQ ONLINE
Lain kerajaan, lain pula catatan sejarahnya. Kalingga, atau Holing atau Kaling, sebuah kerajaan yang terletak di pulau Jawa bagian utara, menyebutkan bahwa orang-orang membuat arak atau tuak dari bunga pohon kelapa yang menggantung.
Rasa yang ditawarkan manis sekaligus memabukkan. Dalam teks Desawarnana alias Negarakertagama, disebutkan bahwa tuak kelapa, tuak siwalan, arak, hano, kilang brem, dan tampo disajikan dalam wadah berbahan emas.
Budaya Minum Tuak di Nusantara
Tuak yang lebih modern merupakan hasil fermentasi dari dua buah minuman buah yang mengandung gula. Tuak dibuat dari bahan baku beras atau cairan yang diambil dari tanaman seperti nira kelapa, aren, legen dari pohon siwalan atau tal, dan berbagai bahan yang bisa berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. PKV Games
Tuban merupakan salah satu daerah yang dikenal sebagai daerah penghasil tuak tertua bahkan sejak abad ke-9 Masehi, ketika orang Tartar dari Mongolia mengalahkan tentara kerajaan Daha (Kediri). Orang Tartar yang singgah di Tuban kemudian merayakan kemenangannya dengan minum tuak dan arak.
Budaya minum tuak juga dikenal di beberapa daerah, bahkan sejak ratusan tahun lalu. Batak Toba misalnya menggunakan tradisi minum tuak dalam acara-acara keagamaan yang telah berlangsung sejak lama. Dalam kebudayaan Batak Toba, wanita yang baru saja melahirkan diwajibkan untuk minum tuak dalam jumlah terbatas.
Orang-orang Batak bahkan percaya bahwa tuak bisa menyehatkan badan, asal diminum sesuai takaran dan tidak berlebihan. Tuak juga dikenal oleh komunitas adat lain, seperti Bali dan Minahasa, namun dengan istilah yang berbeda, yakni Brem bagi masyarakat Bali; Ballo’ bagi masyarakat Toraja, dan saguer bagi masyarakat Minahasa.
Sejarah Tuak pada Masa Kolonial
Tuak merupakan minuman tradisional Nusantara yang telah ada sejak dahulu kala, bahkan sebelum bangsa Eropa tinggal tiga abad lamanya di negeri ini. Minuman ini dikenal sebagai minuman beralkohol yang merupakan hasil fermentasi dari nira, beras, atau bahan minuman/buah yang mengandung gula.
Tak heran, apabila diteguk dalam jumlah yang berlebih, Tuak akan memabukkan penikmatnya. Namun, siapa sangka, kehadirannya disambut dengan baik oleh beberapa komunitas adat nusantara karena diyakini memberikan efek yang baik, terutama untuk kesehatan tubuh.
Raja-raja Mataram kuno dan Singasari mengonsumsi minuman ini dalam berbagai perhelatan akbar dan ritus-ritus tertentu. Seiring berjalannya waktu, Tuak mulai dikenal oleh kalangan lain dengan istilah yang lain pula.
Bahkan, siapa sangka, akibat efek yang ditimbulkan oleh konsumsi tuak yang berlebihan, Tuak pernah ditempatkan dalam daftar minuman berbahaya, terutama pada awal masa pergerakan.
Tuak pada Masa Penjajahan Belanda
Pemerintah Belanda membatasi peredaran minuman keras di awal abad 20. Alasannya seputar moral, juga masalah perekonomian. Departemen Keuangan Hindia Belanda berambisi meningkatkan pungutan cukai impor minuman keras. Arak gelap atau yang dibuat secara tidak sah menurut ketentuan hukum akan terjaring razia dan menjadi sasaran utama pembasmian oleh pemerintah Belanda pada masa itu.
Peredaran minuman keras juga turut mengusik nalar dan nurani para pegiat organisasi politik seperti Sarekat Islam. Sarekat Islam memasukkan agenda perihal minuman keras dalam kongresnya di tahun 1915. Mereka menyeru kepada pemerintah yang saat itu berkuasa untuk membuat undang-undang yang melarang pribumi, bahkan apabila dimungkinkan berikut pula anak bangsa untuk meminum minuman keras.
Hal ini berangkat dari keterpukulan organisasi ini karena beberapa haji yang menggerakkan Sarekat Islam, turut berbisnis minuman keras. Sarekat Islam pun berdiri sebagai organisasi yang menolak keras peredaran minuman keras, termasuk tuak di negeri Hindia.
Tidak hanya Sarekat Islam yang menolak kehadiran minuman beralkohol. Muhammadiyah pun demikian. Usulan Muhammadiyah berada pada tataran monopoli perdagangan minuman keras. Sedangkan Budi Utomo menekan pemerintah habis-habisan untuk membatasi tempat penjualan dan menaikkan harga minuman keras di pasaran.
Tak tanggung-tanggung, Budi Utomo menghimbau masyarakat agar memilih pejabat atau pemimpin yang bebas alkohol. Hal ini disambut baik oleh Perhimpunan Bupati ‘Sedya Mulya’ untuk mendirikan perkumpulan anti alkohol. Mereka juga turut membuat aturan tentang pemberlakuan denda bagi anggotanya yang menikmati alkohol.
Penolakan atas alkohol, termasuk tuak tidak hanya berkutat di sektor organisasi politik Hindia Belanda. Organisasi spiritual Jawa, Mimpitu, memandang minuman keras sebagai satu dari ‘tujuh kejahatan dalam diri manusia’. Manusia diwajibkan untuk menaklukkannya. Mimpitu bahkan menetapkan syarat untuk satu tahun lamanya dilarang meminum arak, bir, atau anggur atau minuman lain yang dapat memabukkan.
Semua gerakan anti alkohol ini akhirnya mendapat respon dari pemerintah. Sejak 1914, pemerintah membuat aturan yang memperkuat usaha rumah-rumah minum (herbergkeur) dan kedai kopi hingga warung pinggiran. Mereka hanya diperbolehkan menjual minuman keras tiga liter setiap jam buka dan harus mengantongi izin dari polisi.
Selama 1900-1925, upaya membasmi peredaran minuman keras ilegal terus dilakukan. Namun, arak gelap ibarat penyakit yang terlalu sulit dibasmi. Terlebih ada sikap tahu sama tahu antara pihak penegak hukum dan pemilik usaha yang membuat aturan soal anti alkohol sulit diterapkan. Bahkan, hingga detik ini. Menenggak Perjalanan Tuak di Nusantara, dari Kerajaan hingga Kolonial