LegendaQQ Lounge – Faktor Keagamaan dalam Gangguan Mental, mungkin kamu pernah mendengar komentar yang mengaitkan kurangnya rasa bersyukur sebagai penyebab masalah kesehatan mental dalam kehidupan sehari-hari. Komentar tersebut tidak dibenarkan oleh pakar kesehatan jiwa karena dapat memperburuk stigma penderita maupun penyintas.
Meski begitu, beberapa studi menemukan hasil menarik tentang faktor keagamaan pada gangguan bipolar. Misalnya, seseorang yang mengalami peningkatan keagamaan dinilai bisa menjadi gejala mania atau hipomania pada gangguan bipolar. Ini mengacu pada studi berjudul “Sexual and Religious Obsessions in Relation to Suicidal Ideation in Bipolar Disorder” dalam jurnal Suicide and Life-Threatening Behavior tahun 2019.
Contoh kasus
Peningkatan religiositas dapat terjadi dalam berbagai bentuk, termasuk menjadi tindakan lebih halus dan tidak semuanya menunjukkan psikosis. Kasus berikut menggunakan pasien hipotesis:
- Ian dibesarkan dalam keluarga Kristen namun berhenti pergi ke gereja saat remaja. Setelah timbul gejala bipolar, ia mulai pergi ke lebih dari satu kebaktian dalam seminggu. Ian bergabung dalam kelompok belajar, menjadi sukarelawan, dan mencari konseling agama dari pendeta.
- Ika belum pernah menghadiri acara keagamaan apa pun dalam hidupnya. Namun, saat ia memiliki gejala penyakit mental dan didiagnosis skizofrenia, ia mulai berbicara dengan teman-temannya tentang Tuhan. Ia pun lebih sering membaca kitab suci dan akhirnya memeluk agama.
- Nina, seorang muslim yang taat sepanjang hidupnya, ketika mulai memunculkan gangguan skizoafektif, ia mulai mempertanyakan kelayakan dirinya pada Tuhan dan memiliki suicidal thought.
- Didi yang memiliki gangguan bipolar mulai lebih fokus pada keyakinan agamanya ketika gejala bipolar muncul. Didi merasa itu bisa membantu melewati masa-masa sulitnya.
Dilansir Verywell Mind, diagnosis kasus Nina bisa ditetapkan bahwa ia memiliki delusi agama. Akan tetapi dalam kasus Ian dan Ika, psikiater mungkin merasa bahwa diagnosis delusi agama terlalu dini untuk diberikan. Sementara dalam kasus Didi, keyakinannya tampak merupakan sebuah dukungan daripada suatu masalah.
Psikiater Harold G. Koenig dalam tinjauan literaturnya berjudul “Religion, Spirituality, and Psychotic Disorders” dalam jurnal Archives of Clinical Psychiatry tahun 2007 menyebut bahwa sekitar sepertiga dari psikosis memiliki delusi agama. Namun, tidak semua pengalaman religius adalah bentuk psikotik.
Mengenal Delusi Agama
Delusi didefinisikan sebagai keyakinan palsu yang sangat dipercayai. Ada berbagai jenis delusi, termasuk delusi paranoid, delusi referensi, delusi keagungan, delusi kecemburuan, dan lain-lain. Dua di antaranya dapat mengekspresikan diri pasien dalam konteks agama, seperti:
Delusi paranoid religius: “Iblis mengawasiku, mengikutiku, menunggu untuk menghukumku jika aku melakukan sesuatu yang tidak mereka sukai,” atau “Jika aku memakai sepatu, Tuhan akan membakarnya untuk menghukumku. Jadi aku harus bertelanjang kaki sepanjang waktu.” Halusinasi pendengaran juga sering dikaitkan dengan paranoid religius.
Delusi keagungan agama: “Tuhan telah meninggikanku di atas orang normal.
Hasil penelitian tentang delusi keagamaan
Sebuah penelitian dalam International Journal of Social Psychiatry tahun 2015 melakukan metaanalisis terhadap 55 publikasi global untuk mengetahui hubungan antara delusi agama dan halusinasi agama.
Selain itu, studi bertajuk “Phenomenology of delusions and hallucinations in schizophrenia by religious convictions” dalam jurnal Mental Health, Religion & Culture tahun 2010 terhadap pasien Muslim di Pakistan menemukan bahwa banyak pasien yang lebih religius kemungkinan mengalami delusi agama yang lebih tinggi. Studi ini juga melaporkan bahwa pasien juga mendengar suara “agen” paranormal.
Perbedaan antara keyakinan agama dan delusi agama
Banyak pasien dengan gangguan psikotik menganggap keyakinan spiritual sebagai mekanisme koping yang penting. Bagi mereka yang tidak mengalami delusi, keyakinan agama dan aktivitas sebagai mekanisme koping dinilai bermanfaat untuk penyakit secara umum, mengacu penelitian dalam The Journal of Supportive Oncology tahun 2012.
Sebaliknya, memiliki delusi agama telah diketahui terkait dengan perkembangan penyakit yang lebih serius dan hasil yang buruk. Misalnya penelitian dalam Indian Journal of Psychological Medicine pada 2014 menunjukkan bahwa pasien dengan delusi agama memiliki gejala psikotik yang lebih parah dan riwayat penyakit berlangsung lebih lama.
Jadi, penting bagi dokter untuk menyadari perbedaan dua kasus tersebut. Dokter harus memasukkan agama yang dianut pasien dalam melakukan evaluasi menyeluruh, serta berhati-hati dalam membedakan antara keyakinan agama yang kuat dan delusi agama.
Sanggahan dan catatan
Bertentangan dengan sebagian temuan yang telah dipaparkan di atas, sebuah metaanalisis dalam International Journal of Social Psychiatry tahun 2015 yang dilakukan terhadap pasien skizofrenia di Lithuania menyimpulkan bahwa religiositas tidak secara langsung memengaruhi konten agama dari delusi. Namun, ini masih memerlukan studi lebih lanjut.
Faktor Keagamaan dalam Gangguan, baik dalam membedakan pasien saat delusi agama serta bagaimana menggunakan itu untuk membantu kesembuhan pasien.