LegendaQQLounge– – Di antara gedung-gedung pencakar langit, duduk Musa (88) di kursi dingklik ditemani sepedanya yang disandarkan pada sebuah dinding.
Suasana di sekitar trotoar tempat Musa duduk, tampak lengang. PokerOnline
Tak banyak para pejalan kaki yang melintasi trotoar itu.
Hanya para pengendara bermotor yang melintas di Jalan Jenderal Sudirman depan Musa menjual jasanya.
Musa, yang bekerja sebagai tukang tambal ban itu, menunggu para pengendara sepeda motor menepi untuk meminta jasanya membetulkan roda motor.
Namun sejak siang, pria bertopi merah itu mengaku belum mendapatkan pesanan.
“Sudah seharian tadi di pinggir jalan, tapi belum ada motor yang menepi. Biasanya memang begitu,” kata Musa saat ditemui TribunJakarta.com pada Kamis (22/8/2019).
Seringnya, lanjut Musa, ia pulang dengan tangan hampa.
Ia bisa mengantongi uang paling besar Rp 50 ribu dalam sehari.
Musa mengaku telah menekuni pekerjaannya sejak tahun 1970.
Awalnya ia menjual jasanya di bundaran Hotel Indonesia.
Sekarang, meski sudah tua, Musa tetap ingin terus bekerja menambal ban.Padahal, anak-anaknya melarangnya untuk bekerja menjadi tukang tambal lantaran usianya yang semakin lanjut.
“Anak saya melarang saya tapi dari kecil saya enggak bisa diem. Jadi mau terus kerja,” katanya.
Jadi Kuli Bangun Hotel Indonesia
Pada tahun 1952, Musa memutuskan untuk merantau ke Jakarta demi mencari pengalaman sekaligus kehidupan yang lebih baik.
Berdasarkan kesaksiannya, pria asal Semarang itu pun memulai hidupnya di Jakarta sebagai seorang kuli bangunan.
Tak main-main, ia menjadi kuli untuk membantu pembangunan Hotel Indonesia yang digagas oleh Presiden pertama RI, Bung Karno.
Hotel Indonesia dibangun tahun 1962 untuk menyambut Asian Games IV.
Musa terlibat untuk membangun Hotel yang dirancang oleh arsitek Abel Sorensen dan Istrinya, Wendy, asal Amerika Serikat itu.
Kenangnya, kebanyakan tenaga ahli saat pembangunan itu merupakan orang asing.Sedangkan orang pribumi, kala itu, hanya bekerja sebagai pekerja kasar.
“Saya jadi kuli, ngangkat-ngangkat yang berat. Ngaduk semen hingga melakukan plester dinding,” ujarnya.
Membangun hotel itu, akunya, berlangsung lama lantaran alat-alat berat tak secanggih sekarang.
“Perlu bertahun-tahun bangun hotel itu. Karena enggak secanggih sekarang alat-alatnya. Istilahnya kalau dulu 7 tahun sekarang bisa sangat cepat,” terangnya.
Saat dulu, ia dibayar dengan menggunakan koin setiap selesai bekerja.
“Dulu upahnya masih koin bukan uang kertas. Sekarang kuli kan udah ratusan ribu sekali kerja,” terangnya.
Kenangan Tempo Dulu Kawasan Tanah Abang
Di mata Musa saat muda, suasana kawasan Tanah Abang jauh berbeda dengan saat ini.
Terutama, suasana kawasan di Jalan Jenderal Sudirman, Karet Tengsin, tempatnya menjual jasa tambal ban.
Dulu, kenang Musa, sebagian besar wilayah itu diselimuti oleh pepohonan.Belum adanya beton-beton gedung tinggi menjulang.
Jalan raya maupun lampu kota juga belum dibangun.Tak jauh dari pepohonan di sekitar Karet Tengsin itu, terdapat permukiman warga.
“Selain itu banyak tanah kosong. Makin lama banyak orang yang tinggal di situ. Dekat saya dulunya ada kebon melati,” terangnya.
Kini pemandangan itu tak bisa dilihat lagi lantaran telah berubah dengan gedung-gedung tinggi yang berdiri tegap.
Kendati banyak berubah, Ia tetap menjual jasanya sampai sekarang sebagai tukang tambal ban walaupun penghasilan kadang tak didapatnya.
Bahkan, sampai jam sembilan malam ia tetap setia menunggu para pengendara motor menepi di lapaknya.
“Sudah saya siapkan balsem di kotak kayu. Karena kalau malam banyak nyamuk di sini, abis kaki saya digigitin,” ujarnya.
baca juga : Kemenangan Di Legendaqq 30 Juni 2019